Seminar Nasional
SEMINAR
HUKUM NASIONAL
FAKULTAS
SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
IAIN
TULUNGAGUNG 2017
Perbedaan sosial secara umum dapat diartikan sebagai Strata Sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono
Soekanto bahwa strata sosial adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok
dalam kedudukan yang berbeda-beda secara Horizontal. Ukuran dalam menentukan strata sosial antara
lain ilmu pengetahuan, kekayaan, kekuasaan, hingga kehormatan,.
Di kehidupan masyarakat, terdapat tiga jenis strata sosial, yaitu Asscribed
Status dimana seseorang memperoleh status secara otomatis tanpa usaha-usaha
tertentu yang didapatkannya sejak lahir, seperti kelamin, ras, keturunan dan
kasta, Achieved Status dimana seseorang mendapatkan status tidak sejak
lahir, tetapi diberikan karena usaha-usaha tertentu seperti dokter, guru, presiden dan
sebagainya, Assigned Status yaitu status yang diperoleh seseorang didalam lingkungan masyarakat yang
bukan diberikan sejak lahir, tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan
masyarakat seperti ketua adat, kyai, sesepuh(orang yang di tuakan).
Banyak faktor yang mendorong terjadinya marjinalisasi, diantaranya
perbedaan ras dan budaya, pembagian tugas, hingga kesenjangan. Strata sosial ada yang bisa perpindah
(terbuka), strata sosial yang tidak bisa berpindah (tertutup), dan campuran,
dimana strata sosial seseorang bisa berubah jika berada di tempat yang berbeda.
Berbagai dampak dirasakan akibat adanya marjinalisasi. Dampak positifnya yaitu
dengan adanya marjinalisasi orang-orang akan berusaha untuk merubah kondisinya
dari miskin menjadi kaya, dari bodoh menjadi pandai, dan sebagainya. Sedangkan dampak negarifnya yaitu adanya
konflik antar kelas sosial, adanya konflik antar kelompok, adanya konflik antar
generasi, dan berbagai konflik lainnya.
Dalam kenyataannya, banyak sekali kaum masyarakat yang termajinalkan atau
tersisihkan, dari status sosial ataupun
yang lain. Seperti halnya orang cacat/orang yang memiliki kekurangan secara
fisik. Mereka biasa dianggap lemah atau dianggap kurang bermanfaat bagi orang
lain, terkadang mereka harus terpinggirkan secara sosial. Dan banyak sekali
yang lain.
Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara. Di negara ini ada asas persamaaan dimuka hukum, dimana setiap orang tanpa
pandang bulu harus di perlakukan sama di hadapan hukum. Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang
sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the
law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini
menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia
mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata)
dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847
melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak
sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang
berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang
berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah
utuh diantara dimensi sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial).
Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya bahwa
secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan
perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan wilayah
ekonomi, itulah yang
menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan
ekonomi.
Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapatnya suatu
kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian. Asas
persamaan dihadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi
kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun disisi lain, karena
ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi) asas tersebut sering
didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk melindungi aset dan
kekuasaannya.
UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “semua warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak terkecuali, Pasal 27 ayat (1). Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara
tanapa harus melihat
apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat
jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul
dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama
dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam
berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the
law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek
hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek
hukum tersebut berada diatas hukum.
Sementara yang dimaksudkan dengan kedudukan yang sama dalam hukum”
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menurut Solly Lubis
meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, dengan demikian setiap
warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan
kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya tampak bahwa “hukum”
yang dimaksud sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan
kepidanaan, serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti hukum tata
negara, hukum tata pemerintahan, hukum acara pidana/perdata dan sebagainya.
Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan
dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan
siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini
tidak terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia dimana ada
suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya.
Jadi dalam asas tersebut telah di akui bahwa setiap orang memiliki kesamaan
di hadapan hukum, akan tetapi dalam penerapannya sangatlah berbeda. Terkadang
orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, lebih diistimewakan dibandingkan
dengan orang biasa atau dari status kalangan bawah, ini sangatlah berbanding
balik bukan dengan asas tersebut.
Topik inilah yang akan didiskusikan dalam Seminar Nasional Fasih Law
Fair 2017 yang akan dilaksanakan di Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
dengan mengambil tema “Membuka Realita kaum Marjinal di
Indonesia dalam perspektif Hukum, Gender dan HAM ”
Komentar
Posting Komentar